“Perempuanku,
kami lah yang beruntung terlahir dari rahimmu. Jiwa lelaki tak memudarkan
pesona muslimahmu di mata keluarga, harapku juga di mata Tuhan yang menciptakan
kita. Aku terhipnotis dengan perangai yang mungkin orang tak dapat samakan
kita. Lantas siapa kamu, jika tak sedikitpun akhlak dan parasmu berselancar
dalam darah yang punya jasadku ini.”
Begitulah syair anak sulungnya yang ritmenya
tak seiras. Suaranya hijau dan tak mengikuti arus dawai yang dipetik lewat gitar
tim nasyidnya di sekolah dulu. Bahkan terkadang menjelma sebagai mulut yang usil
tak terbatas. Ketika diceritakan oleh Bunda Nana, penulis drama termasyhur di
kampung kami.
“Mak, kapan bisa pintar menjahit
dengan mesin ini?” tanyaku ketika mak sedang menjahit baju piyama ayah, yang ia
cocokkan dengan contoh pakaian Yahwa Din yang ia pinjam sehari yang lalu.
Mak
memang cepat dalam memahami ilmu menjahit, walaupun baru sekali beliau lihat.
Padahal beliau bukan tailor maju yang
dapat upah besar. Beliau hanya menjahit baju-baju kami di rumah dan kadang
kecilin baju tetangga, kalau diminta bantu. “ Hobi memang benar, terus dicoba-coba,
kemudian beli mesin sendiri. Tapi enggak mesti hobi juga, asal mau coba terus.”
Lanjutnya.
Kriiiiiiiiiing…eh tiba-tiba jeritan
hpnya berdering kejam, mengambil alih perhatian mak pada kami, (saya dan
arjunanya yang ketiga). “Ganggu waktu kami aja,” geramku. Mak memang tak pernah
kosong, kesibukannya melebihi Bunda Wati, kakak kandungnya yang PNS. Belum lagi
sebelum puasa ia berjualan di kantin SMA tempat kami sekolah. Lebih kurang 12
tahun ia sebagai ibu kantin untuk memperbaiki nasib di sana, seusai ayah yang
berulang kali sakit berat.
***
Perempuanku, ia hadir tidak hanya
sebagai pelengkap lelakinya. Kehadirannya menghadirkan keberanian, terciptanya
bakti dari dalam dirinya, terlahir si jantung hati yang didambakan dalam keluarganya.
Tanggung jawabnya adalah cerminan baik
buruknya akhlak anak dan cucunya. Itulah mungkin target hidupnya dan janjinya
pada Allah selain untuk beribadah kepada-NYA.
Tokoh perempuan yang kumaksud kini
telah lama menapaki dua kakinya pada lembah, yaitu tempat berlalu lalangnya
para pekebun di kampung ini. Makku adalah sibungsu dalam keluarga nenek kakek.
Perangai sehari-harinya berubah setengah lingkaran semenjak ia hijrah ke sebuah
pondok pesantren pimpinan ulama terkemuka di Aceh ini. Walaupun pengabdiannya
tidak lama di dayah ini, namun kisah kasih selama seatap dengan salihah-salihah
sehaluan dengannya itu masih belum luput dari ingatannya. Ia lahir sekitar
tahun 1972. Namun, pada ijazahnya entah kenapa yang dibubuhi setahun lebih
muda. Aku juga tidak tahu kenapa demikian, sebab ketika ditanya, ia selalu bilang kesalahan penulisan ijazah dari
semenjak SD. Ada juga benarnya, karena pengalaman salah tulis itu juga terjadi
pada namaku ini.“Mungkin saja gurunya
mau menyamaratakan tahun lahir kali,” terpikirku saat kami mengakhiri
perbincangan tentang masa lalunya yang tak biasa, sore itu sepulang ia dari rapat
anggota wirid yasin di kampung.
***
Semenjak SD ia sudah pergi ke ladang,
jualan ikan dan mengembala kerbau punya kakek. Beliau sudah terbiasa memanjat
hingga usia ku dalam kandungan 8 bulan, yang ketika itu ayah sedang di negeri
jiran. Berbekal keberanian dan untuk belanja sewaktu-waktu. Ia sangat
berhati-hati di atas pohon cengkeh/pala kebun milik kakek.
Sebagai perempuan yang punya perubahan
di setiap lini. Usai sama-sama pernah membantu masak di rumah Abu di Dayah
Darussalam Al-Waliyyah, Aceh Selatan itu. Ia pindah ke Dayah yang berada di
kotanya, yaitu kota Blangpidie, Aceh Barat Daya. Dayah yang termasuk pesantren tertua juga,
dan banyak melahirkan syekh-syekh di Nusantara, khususnya Aceh. Sebut saja pesantren Bustanul Huda, saat itu
di bawah pimpinan Abuya Syam Marfali yang sebelumnya pesantren itu bernama
Jami’atul Muslimin. Di sini Mak belajar bersama 20 orang rekannya (masa itu).
Jumlah yang tidak terlalu banyak sehingga kedekatan batin sangat ia rasakan di
asrama itu, bahkan dengan keluarga abuya pimpinan. Pun saat itu asrama
perempuan memang adalah rumah abuya sendiri. Alasan awal ia pindah dari
pesantren pertama karena ia sering jatuh sakit, sehingga ia berdalih mencoba
pindah dulu ke pesantren lain, harap-harap sakitnya lebih jarang kambuh. Tidak lama juga di sini, ia pula membaca
keadaan yang sama seperti keadaaanya semula. Ia bahkan sering pulang, dijemput
orangtua sebab sakit. Hingga suatu waktu, ia pun tak sempat bersilaturahmi lagi
dengan abuya pimpinan, guru-gurunya bahkan keluarga abuya. Sebabnya, ialah
karena tidak mempunyai uang untuk kembali.
Malam itu, aku sangat berproses dengan
jalannya benak ini yang sering mundur memutar kaset masa laluku. Setiba
teringat ceritanya (lagi) dulu. Tentang masa lalu kami yang tak pernah absen
dengan agenda. Tentang sepeda tua yang kini tersimpan baik di rangkang kayu.
Warnanya abu-abu menjadi coklat, sudah ubah dari semula. Tentang tali dari daun
pisang yang dikepang, bertengger dan bergantungan di atas dipan-dipan, sudah
siap untuk anyam dan dikeringkan lalu diwarnai. Siap untuk dijual dengan harga
dulunya 1 Kg hanya 1500 rupiah.
“Keluarga hitam manis,” kataku. Iya dari
sepasang kekasih hitam manis yang menghadiahkaan anak-anak manis pula.
Begitulah caraku kembali menggali senyum dari wajahnya agar tak menangis ketika
mengingat kenangan manis namun menyisakkan dada itu.
Hujan malam ini membumbui cerita kami hingga
semakin lengkap. Apalagi terkenang lagi cerita diguyur hujan lebat di pantai
yang meningkatkan hormon sedih ini terus melimpah.
Aku yang tertegun mendengar cerita mak
yang mulai meneteskan airmata. Ternyata perjuangan mak tak seberat perjuanganku
dalam belajar. Tentang keluarganya dan segala kisah kasihnya itu menghipnotisku
dengan caranya yang wajar. Menceritakan masa lalu kadang membuat kami keasikan
dan larut dalam kesedihan lalu mulai tersenyum dan sadar Allah masih memberi
waktu untuk memperbaiki jalan hidup kami hingga waktu yang tak terbatas di
dunia. Sebelum akhirnya, semua harta yang dicari, ilmu yang dituntut akan binasa.
Yang ada hanya amalan dan keridhaan-NYA kelak, apakah karma baik atau karma
buruk dianugerahkan sang khalik untuk hamba yang pernah hina seperti kami dan
akan selalu hina di mata manusia.
***
Perempuanku, kaulah jantungku. Perempuan yang mula-mula mengetahui masalahku, ia yang
selalu berfungsi di setiap momen hidupku sebagaimana umumnya jantungku
berfungsi. Iya, ia ibuku, perempuan yang Allah karuniakan sebagai pelengkap
ayah dan penyempurna imannya pada-NYA. Perempuanku, kehidupanmu adalah teladanku
bagaimana menjadi seorang ibu dan istri serta berguna untuk masyarakatmu. Tak
sepatutnya kau menanggung beban kami yang apalagi kita masih ada ayah sebagai
kepala keluarga kita. Begitu sering kata-kata ini terlewat dari mulutku ini.
Padahal ia tau apa yang terbaik untuk kebaikan kami karena Allah menjaminnya,
dan ia sangat percaya itu.
“Memang benar, tapi kadangkala
perempuan itu harus bisa juga pekerjaan lelaki. Sebab tidak selamanya kita
bergantung uang pada suami. Apalagi rupanya tidak enak kalau asik meminta
terus. Seperti terbatas saja belanja di dapur, ya walaupun untuk kebutuhan kadang
juga tidak bisa kita penuhi dari hasil penjualan kue di kantin sekolah.”
Tegasnya membangunkan lamunanku yang hanyut sedari tadi dalam buaian hujan yang
mulai reda.
Mak, adalah perempuan aktif dalam
kehidupan kami maupun bagi mereka di kampungku. Ialah perempuanku, dialah yang
menghipnotisku dengan caranya.
_TAMAT_
Website paling ternama dan paling terpercaya di Asia
ReplyDeleteSistem pelayanan 24 Jam Non-Stop bersama dengan CS Berpengalaman respon tercepat
Memiliki 9 Jenis game yang sangat digemari oleh seluruh peminat poker / domino
Link Alternatif :
www.arenakartu.cc
100% Memuaskan ^-^