Kepada Yth.
Ibu, sosok penyuara
ilmu dalam kehidupanku.
Bu,
apakabar hari ini? Semoga engkau baik-baik saja dan selalu dalam lindungan
Allah semata.
Hari
ini hanya gambarmu yang terus terlihat pada album keluarga kita.
Ibu..
Aku
perhatikan dari ujung rambutmu yang dipenuhi uban, ku bayangkan sejuta beban
berat yang sedang kau pikul. Tanganmu sudah mulai menua, kering dan kasar,
serta langkahmu yang terbata-bata tak hilang dari ingatan ini bahkan semakin terlihat
kaku saja.
Bu…
Ternyata
selama ini aku belum terbangun dari lamunanku tentang masa kita yang sudah lama.
Yang ku tahu, kau masih ibu termudaku, yang tak pernah tua-tuanya. Engkau masih
memiliki raga yang sekuat dulu. Sekuat bongkahan kayu yang kau rangkul tanpa sepengetahuanku.
Keadaan di mana aku masih sangat kecil untuk berkutik dan hanya bisa
menyaksikan gerakan tubuhmu ketika itu, semakin letih saja tapi enggan mengeluh
padaku.
Ibu..
Cinta
mana yang engkau gunakan sehingga membuatku tak putus-putusnya bersyukur karena
dilahirkan dari rahim wanita yang kuat dan bijaksana sepertimu. Kekuatan bathin
apa yang selama ini kau pertaruhkan hingga aku merasa darah perjuanganmu
mengalir tak berhenti dalam diriku.
Terlihat
oleh ku, kau seperti seorang anak sulung
yang dibangggakan. Padahal nyatanya, kaulah si bungsu yang mengharukan. Wajahmu
yang kusam, terlihat tua dari mereka yang lebih tua dari mu. Tapi kau tetap
sibungsu tangguh yang lebih berilmu. Si
bungsu yang muda diingatan tapi sekejab tua dikenyataan.
Ibu..
Aku
paham. Ekspresimu menggambarkan asa. Agar kami tidak sampai mengulang keadaan
seperti semula. Layaknya keadaanmu yang belum sempurna mendidik kami. Begitu katamu.
Sungguh cinta dan pengertianmu sangat luar biasa. Mengajarkan dengan bumbu-bumbu
pengalaman yang sangat mendalam.
"Menjadi seseorang itu,
tidak bisa bergantung pada satu pekerjaan saja.
Apalagi sudah berkeluarga"
Ibu..
Aku
sangat bangga dengan kepribadianmu. Kau mengajarkan kami. Bahwa hidup tak
seindah saat ini. Banyak hal yang tidak bisa didapatkan dengan hanya tersenyum
puas di meja kerja. Tapi harus meneteskan
keringat darah sekalipun. Betapa tidak, menjadi seseorang itu, tidak bisa
bergantung pada satu pekerjaan saja. Apalagi sudah berkeluarga. Tegasmu saat
itu.
Ibu..
Aku
takjub dengan dunia ini karena mu. Aku tenang karena jalan terbaik yang telah
kau pilih. Meninggalkan masa muda yang menurutku belum sempurna itu, menuju
tempat yang setiap harinya kau berdiam diri di sana dengan berbagai kajian
ilmu. Aku sangat mengapresiasi, bila saat itu akulah teman sebangku di sekolahmu.
Ibu..
Sepucuk
surat cinta aku lampirkan.
Apakah
kau tenang dengan kehadiranku bu?Apakah cintaku padamu dapat kau rasakan? Aku
meminta keridhaanmu agar membukaku pintu maaf karena kesilapan sikap yang telah
membuatmu meneteskan air mata. Selagi kita masih bisa terhubung lewat
komunikasi bu. Selagi ibu masih mampu memberiku sejuta motivasi. Maka ku mohon
jangan biarkan aku hidup dengan rasa penyesalan dan menyiksa diri akibat
meninggalkan cintamu yang sangat berarti ini.
Ibu..
Pancaran
air matamu terlihat jelas dalam usahamu menenangkanku saat aku memberontak
karena tingkah mereka yang sewenang-wenangnya kala itu. Aku tahu, kau mengajarkanku agar senantiasa
menjadi seorang yang pemaaf dan tidak
pendendam.
“Berjalanlah
pada keadaan yang telah lama tercipta bahagia, maka jangan biarkan ia memberi
bekas luka. Tantanglah duka” katamu pada balita kecil ini yang sekarang sudah
meranjak dewasa.
“Cinta pada sosok orangtua karena suatu saat kau akan merasakan keadaan serupa seperti mereka”
Bu..
Kau
mengajarkan cinta yang tak habis-habisnya. Cinta kepada Allah yang kau tanam menempatkanku
dalam pengajian ilmu dan terus haus akan pembinaan. Cinta akan kesederhanaan dan kejujuran. Selanjutnya “Cinta pada sosok orangtua karena
suatu saat kau akan merasakan keadaan serupa seperti mereka” pungkasmu
Kali
ini, Rasa cinta yang sudah melekat di sanubariku, takkan bisa memudarkan perkara
bathin rinduku padamu. Karena aku tak sanggup membalas cintamu. Maka biarkanlah
Allah yang punya kuasa untuk itu.
Salam
cinta untukmu, karena anugerah cinta yang kudapatkan atas kuasa Allah darimu
untukku dan kita.
Cinta
dari salah seorang mahasiswa MIPA untukmu yang berada di Aceh Barat Daya,
Kecamatan Lembah Sabil “Ibu An” di kediaman kami tercinta.
Comments
Post a Comment