KETIKA PRINSIPKU BUKAN KEGIRANGANMU, SAUDARAKU

Anggapannya, Akulah sang pembawa malapetaka. Karenaku isi kepalanya menjadi semak. Dia geram adik macam apa aku. Sehingga berani  mengajak berperang dengannya secara tidak terhormat.

“Apakah kasih sayangnya padaku sudah lenyap?” tak tersedia lagi seperti masa-masa kami dulu  yang sangat teduh.
“Bagaimana ini bisa terjadi?”.
Ibu terus mengungkap kembali prasangkanya itu.
Ibu adalah saudara kandung pak wa (sebutan untuk saudara laki-laki ibu). Kesalahpahaman membuat mereka saling berjauhan.
“Aku tidak marah sama dia nek, sama sekali tidak, karena aku sudah melupakan kesalahan-kesalahannya padaku waktu itu,” ujar ibu sambil mengucurkan airmata dan seakan tidak ingin orang menaruh belas kasih untuknya.
Lalu ketika kami saling merindu. Satu sama lain tak ingin memberi tahu. Dimanakah kedekatan kita dulu saudaraku?
Ibu larut dalam tangisan yang haru. Hari-harinya terus bergelimang dengan kegelisahan. Dianya takut silaturrahminya ini akan pupus seketika.
 “Aku hanya tidak tega melihat ia, sebatang kara tanpa seorang istri disisinya lagi” Terkadang dengan diam-diam aku kerumahnya. Laksana seorang pencuri menyusup tanpa sepengetahuan pemilik istana. Aku menangis histeris di pojok jendela kayu. Seakan-akan aku kehilangan buah hati yang tak sempat meraih dunia. Aku duduk di kursi meja makannya itu. Yang ada hanya segelas air dan beberapa sisa makanan tadi pagi.”
“Itulah nak, kita iba ketika harus melihat kesedihannya itu. Akan tetapi ulahnya membuat kita tak segan menentangnya. Setumpuk keburukan ada padanya. Sudah pelit, durhaka dan kaya tapi tidak bermakna sama sekali. Kamu tau kenapa keadaan ini menyerta? Karena  sikapnya itu tidaklah mendapat kerelaan orang tuamu. Apapun kemewahannya, semua tdk diberkati karna dia ingkar,” begitu pungkas neklot (panggilan untuk nenek paling terakhir).
Kekayaan membuat ia tak rela memberi, tak ingin berbagi dan mendermakannya sebagian dari hartanya itu untuk orang lain, bahkan kepada ibu kandungnya sendiri. Kemewahan sudah menghiasi dirinya dan mengotori wataknya. Semakin meracuni pikirannya. Keluarga dan orangtua hanyalah pembawa kekacauan dan ketidakberkahan dalam hidupnya.
Hidupnya untuk hartanya. Untuk pulau dan seisinya. Dia serakah dan membenci pembagian. Dia tak mengenal aturan warisan tak pula mengikuti nasehat orang tua. Dia sudah diperbudak oleh dunia.  
Keadaan ini terus saja berlanjut hingga kakekku menutup usia.
“ Aku yakin nek, suatu saat dia akan sadar dan berubah. Ini tidak berlaku segala-segalanya buatnya. Tunggulah masa-masa itu,”  Sontak ibu sambil menyapu keringat di dahinya dan melekati koyo dikepala, yang sudah seharian bersedih memikirkan keadaan pakwa.
Kembara matahari semakin terkenang saja. Kian lama kian pergi dan kembali ke peraduannya. Ibu terus larut dalam cerita dan hayalan-hayalan muda ketika ia bersama  pakwa.
Bimbang dengan keadaan persaudaraannya yang semakin lama terus menjarak. Berbulan-bulan ini terjadi. Ibu semakin tidak memahami. Begitulah,sudah tak seperti sepasang burung yang sedang mesra mematuk biji-bijian. Sudah tak seperti semut yang saling berjabat tangan saat bertemu. Tak seiring sejalan seperti induk kambing yang takut kehilangan anak-anaknya saat mencari makanan.
“Begitulah selanjutnya keadaan kami, “ pungkasnya pada neklot yang juga sempat heran terlalu lama dan antusias mendengar ceritanya ibu..
“Hakikat persaudaraan sudah tak lagi dikenal,” Pikirku sambil membayangkan bagaiamana jika ini terjadi juga padaku dengan adik-adikku.
**
Alhamdulillah keadaanlah yang menjawab pertanyaan ibu hari itu. Sekarang pakwa sudah menyadari kesalahannya dan berhenti bermusuhan. Dianya semakin sering mengunjungi gubuk kami dan menyapa ponakan-ponakannya.
Keadaan berubah total setelah pakwa mendapatkan istri yang baru dan kebahagiaan beliaupun semakin terlihat.
Memang benar seperti kata bijak  “ Setiap manusia terlahir dari nenek moyang yang sama, karenanya setiap manusia bersaudara dan sepantasnya untuk saling bersatu.”
Kiasan persaudaraan ibuku terus terjalin indah walau terkesan berantakan. Ekspresi mereka sudah tak sama. Sebab sudah pernah ada dendam di antara mereka.
Adakalanya, ketika ibu tak sependapat dengan pakwa. Maka beliau hanya mencoba lebih bersabar dan tidak menuruti egonya untuk berbicara lantang pula. Ibu menasehatinya dengan cara tidak menggurui. Beliau berupaya tidak melebih-lebihkan keadaannya .Baginya, dialah abang sekaligus tamu istimewa dalam keluarganya. Dianya gagah dan pemberani dan sekarang dia pulalah yang sangat mengerti akan kesederhanaan  ibu.

Aku pula berprinsip sama dengan ibu. Karena aku tidak ingin perpecahan yang lain pula menimpaku dengan keluargaku saat ini.  sebanyak apapun keburukan saudaraku, aku tetap harus dapat membuat dia bahagia dengan kehadiranku kala kesulitannya menyapa. Ketika aku mengganggap bahwa ia adalah saudaraku, maka disitulah kebahagiaan terbesar yang mulai kurasa.

Comments